Indonesia
memiliki banyak beraneka ragam kebudayaan yaitu kebudayaan etnik dan kebudayaan
asing. Sebagai contoh dari adanya kebudayaan di Indonesia diantaranya seperti
kebuayaan akan alat music daerah, contohnya angklung. Angklung merupakan alat
musik yang berasal dari Jawa Barat. Dan alat music ini dibuat dari bambu , jenis
bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah awi wulung (bambu
berwarna hitam) dan awi temen (bambu berwarna putih). Asal usul terciptanya
musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang
agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal
ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pocani sebagai lambang Dewi
Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip).
Dalam
perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke
Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari
Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan
musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngagalena
—tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras
pelog, salendro, dan madenda— mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung
kepada banyak orang dari berbagai komunitas.
Angklung
tediri dari berbagai macam jenis sesuai dengan asal usul angklung tersebut.
Yaitu terdapat angklung Kanekes karena terdapat di wilayah Kanekes yang orang
kenal dengan sebutan Badui. Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung, ringkung, dongdong, gunjing,
engklok, indung leutik, torolok, dan roel. Lalu angklung Gubrag, yang terdapat
di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung Bandeng, Badeng
terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dan angklung Dogdod
Lojor, terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat
Banten Kidul yang tersebar di sekitarGunung Halimun (berbatasan denga
Jakarta,Bogor,Jakarta)
Jenis angklung diatas adalah
sedikit dari berbagai macam jenis-jenis angklung di Indonesia. Contoh
kebudayaan angklung itulah yang menjadi salah satu kebudayan asli Indonesia
yang dari dulu hingga sekarang masih dilestarikan dan dikembangkan oleh banyak
kalangan masyarakat. Dan tidak ada salahnya kita sebagai warga Indonesia turut
bangga , karena negara kita mempunyai salah satu alat music tradisional dari
Sunda seperti angklung tersebut. Untuk itulah mari kita turut belajar cara
bermain angklung dan turut melestarikannya.
Tidak ada
petunjuk sejak kapan angklung digunakan, tetapi diduga bentuk primitifnya telah
digunakan dalam kultur Neolitikum yang berkembang di Nusantara sampai awal
penanggalan modern, sehingga angklung merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme
dalam kebudayaan Nusantara.
Catatan
mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa Kerajaan Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16).
Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup
masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai
makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci
sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat Baduy,
yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung
sebagai bagian dari ritual mengawali penanaman padi.
Permainan angklung gubrag di Jasinga,
Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak
lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung
diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman padi rakyat
tumbuh subur.
Jenis bambu
yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu hitam (awi
wulung) dan bambu putih (awi temen). Tiap nada (laras) dihasilkan
dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu
dari ukuran kecil hingga besar.
Dikenal oleh
masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah
semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat
masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat
menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung
menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.[rujukan?]
Selanjutnya
lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai
dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas
sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal
sekarang bernama angklung. Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun
dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang
berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang
sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan
Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.
Dalam
perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke
Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi
kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain
ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat
menyebar di sana.
Bahkan,
sejak 1966, Udjo Ngalagena —tokoh angklung yang mengembangkan
teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda— mulai
mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai
komunitas.
Angklung di
daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka orang Baduy) digunakan terutama karena
hubungannya dengan ritus padi, bukan semata-mata untuk hiburan orang-orang.
Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang).
Menabuh angklung ketika menanam padi ada yang hanya dibunyikan bebas
(dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero), dan ada yang
dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, masih
bisa ditampilkan di luar ritus padi tetapi tetap mempunyai aturan, misalnya
hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga
bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya
semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim
menanam padi berikutnya. Menutup angklung dilaksanakan dengan acara yang
disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan) angklung
setelah dipakai.
Dalam sajian
hiburan, Angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan. Mereka
memainkan angklung di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil menyanyikan
bermacam-macam lagu, antara lain: Lutung Kasarung, Yandu Bibi, Yandu
Sala, Ceuk Arileu, Oray-orayan, Dengdang, Yari
Gandang, Oyong-oyong Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran,
Ayun-ayunan, Pileuleuyan, Gandrung Manggu, Rujak Gadung,
Mulung Muncang, Giler, Ngaranggeong, Aceukna, Marengo,
Salak Sadapur, Rangda Ngendong, Celementre, Keupat
Reundang, Papacangan, dan Culadi Dengdang. Para penabuh
angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran kecil membuat
posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi lingkaran. Sementara itu yang
lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan tertentu yang telah baku
tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda
dengan masyarakat Daduy Dalam, mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan
pamali (pantangan; tabu), tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang
berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual.
Nama-nama
angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung, ringkung, dongdong,
gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel. Roel yang terdiri dari 2
buah angklung dipegang oleh seorang. Nama-nama bedug dari yang terpanjang
adalah: bedug, talingtit, dan ketuk. Penggunaan instrumen bedug terdapat
perbedaan, yaitu di kampung-kampung Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak 3
buah. Di Kajeroan; kampung Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa
ketuk. Di Kajeroan, kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan
ketuk.
Di Kanekes
yang berhak membuat angklung adalah orang Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero).
Kajeroan terdiri dari 3 kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Di
ketiga kampung ini tidak semua orang bisa membuatnya, hanya yang punya
keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat
ritual. Pembuat angklung di Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan
di Cikartawana Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga
kampung tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar